BAB l
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Hari demi hari, bulan demi bulan, terus bergantian seiring beregantinya malam
dan siang, tapi yang namanya waktu itu adalah sesuatu yang sakral dan tidak
dapat di putar kembali karna itu bersipt permanen, sangat ironis jika kita
mendengar kata musik, kenapa tidak, dahulu nene moyang kita menenangkan hatinya
dengan lagu “tembang cianjuran” kenyataannya berbeda ketika era globalisasi
datang tidak ada lagi kita dapat mendengar nyanyian tembang cianjuran, karena
lagu barat yang telah mengkontaminasi lagu kebangsaan cianjuran ini, lagu nene
moyang kita yang seharusnya di jaga oleh kita dan kita cintai.
Tembang Cianjuran merupakan
cita rasa sunda yang menjadi ciri bangsa Indonesia dan memiliki estetika tidak
kalah dengan musik art barat. Disamping itu, juga memiliki nilai-nilai luhur
yang mungkin tidak dimiliki oleh music art barat. Nilai-nilai luur inilah yang
harus dipelihara dan lestarikan. Apabila diresapi banyak sekali pelajaran yang
dapat diambil dari penyajian teks tembang.
2.
PERUMUSAN MASALAH
a.
Bagaimanakah sejarah Tembang Cianjuran ?
b.
bagaimanakah
mengetahui rumpaka tembang cianjuran ?
c.
Bagaimanakah nilai-nilai yang terkandung dalam rumpaka
Tembang Cianjuran?
3.
TUJUAN
a. mendeskripsikan sejarah Tembang Cianjuran.
b. menemukan nilai-nilai estetik dalam rumpaka Tembang Cianjuran.
c. mengetahui pertunjukan rumpaka tembang cianjuran.
4.
MANFAAT
a.
Menambah
informasi mengenai sejarah tembang cianjuran
b.
Menambah
informasi mengenai nilai-nilai estetik dalam rumpaka Tembang Cianjuran.
c.
Menambah informasi mengenai pertunjukan rumpaka tembang cianjuran.
5.
HIPOTESIS
a. Tembang Cianjuran merupakan lokal
genius yang telah ada sejak masa lampau.
b. Rumpaka pada Tembang Cianjuran berisi nilai-nilai yang mengarah kepada kebajikan.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.
TINJAUAN PUSTAKA
Tembang
Cianjuran dewasa ini sering dibicarakan oleh pakar-pakar budaya khususnya
budayawan sunda. Banyak juga yang sudah mengkaji serta menjadikan tulisan baik
artikel, skripsi, disertasi, bahkan buku. Seperti yang telah di tulis oleh
Kalsum “Nasihat dan Doa dalam Rumpaka Tembang Cianjuran”. Selain itu
tentang Tembang Cianjuran juga diulas dalam buku berjudul “ Gending Sekar”
karya iwan natapradja(2003). Iwan natapradja(2003) mengulas tentang kesenian
kasundaan dari mulai patet, notasi degung, sistem penotasian dan segala
bentuk pakem musik tradisi karawitan sunda serta kesenian-kesenian lain yang
bercabang dari pakem karawitan termasuk didalamnya Tembang Cianjuran.
2.
LANDASAN
TEORI
Landasan teori yang digunakan dalam karya tulis ini diambil dari beberapa
pendapat para penulis yang telah mengkaji historis dan rumpaka Tembang
Cianjuran. Galba(2007) mengemukakan kesenian tradisional masyarakat Cianjur
berikut sejarah seni mamaos berganti nama menjadi Tembang Cianjuran.
Berkaitan dengan itu pula pergantian nama seni mamaos merupakan hasil
perundingan masyarakat pasundan pada masa pemerintahan dalem pancaniti. Kalsum(2007)
mengkaji isi rumpaka dari Tembang Cianjuran yang berisi nasihat serta
doa baik yang kaitannya dengan manusia (hablum minannas) maupun dengan
tuhan yang maha kuasa (hablum minallah). Kalsum juga mengemukakan bahwa rumpaka
nasihat dan doa terdapat 14,5% dari jumlah lagu; dilihat dari sejarah
sastra maupun sejarah tembang.
BAB III
PEMBAHASAN
1.
SEJARAH
TEMBANG CIANJURAN
Kesenian Tembang Cianjuran telah ada sejak zaman kolonialisme yang datang
ke nusantara. Di tempat kelahirannya Cianjur,sebenarnya nama kesenian ini
adalah mamaos. Dinamakan tembang Sunda Cianjuran sejak tahun 1930-an dan
dikukuhkan tahun 1962 ketika diadakan Musyawarah Tembang Sunda sa-Pasundan di
Bandung. Seni mamaos merupakan seni vokal Sunda dengan alat musik kacapi
indung, kacapi rincik, suling, dan atau rebab. Mamaos terbentuk pada
masa pemerintahan bupati Cianjur RAA. Kusumaningrat (1834-1864). Bupati
Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama
Pancaniti. Oleh karena itulah dia terkenal dengan nama Kangjeng Pancaniti. Pada
mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama
abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti
dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd.
Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah (kurnia:2003)
Bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun,
beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh.
Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu
pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama
keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan
pupuh disebut tembang. Keduanya menunjukan kepada peraturan rumpaka
(teks). Sedangkan teknik vokal keduanya menggunakan bahan-bahan olahan vokal
Sunda. Namun demikian pada akhirnya kedua teknik pembuatan rumpaka ini
ada yang digabungkan. Lagu-lagu papantunan pun banyak yang dibuat dengan
aturan pupuh.
Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni
Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu
pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka
lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864-1910) kesenian mamaos
mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853-1928) adalah
di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering
diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di
antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893—1918) dan RAA.
Wiranatakoesoemah (1920-1921 & 1935-1942). Ketika mamaos menyebar ke
daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka
masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos
dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal
dari Cianjur. Demikian pula ketika radio NIROM Bandung tahun 1930-an menyiarkan
kesenian ini menyebutnya dengan Tembang Cianjuran (kurnia:2003).
Pemain kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran terdiri atas:
seorang pemain kacapi indung yang tugasnya adalah memberi pasieup,
narangtang, pangkat lagu, dan memngiri lagu baik mamaos mamupun
panambih; satu atau dua orang pemain kacapi rincik yang bertugas membuat hiasan
pada iringan kacapi indung ketika penembang membawakan panambih; sementara yang
satunya lagi bertugas sebagai anggeran wilatan (memberi batasan-batasan
ketukan); seorang pemain suling yang bertugas membuat hiasan-hiasan lagu di
sela-sela kekosongan sekaran (vokal) dan memberi lelemah sore (dasar
nada); dan penembang yang membawakan berbagai jenis lagu mamaos
cianjuran. Sebagai catatan, lagu panambih hanya dilantunkan oleh penembang
wanita. Adapun busana yang dikenakan oleh pemain laki-laki adalah baju taqwa,
sinjang (dodot), dengan benggol sebagai aksesorisnya. Sedangkan, pakaian yang
dikenakan oleh para pemain wanitanya adalah: kebaya, sinjang, dan selendang
(Galba:2007).
Fungsi kesenian yang disebut sebagai Tembang Cianjuran adalah sebagai
hiburan. Sedangkan, nilai yang terkandung di dalamnya tidak hanya sekedar
estetika semata, tetapi juga kerjasama dan kreativitas. Nilai kerjasama
tercermin dalam suatu pementasan. Dalam hal ini jika penembang laki-laki
beristirahat, maka penembang perempuan tampil mengisinya. Dengan demikian,
suasana tidak vakum tetapi berkesinambungan. Nilai kreativitas tidak hanya
tercermin dari keterampilan para pemainnya dalam sisindiran, tetapi juga dalam
pengadopsian jenis-jenis kesenian lain (degung) tanpa menghilangkan
rohnya (jatidiri kesenian mamaos cianjuran).
Namun dewasa ini kehebatan dan keindahan dari seni Tembang Cianjuran sudah
mulai melemah tergerus arus globalisasi. Hal itu tercermin dari kurangnya nara
sumber, tingkat apresiasi masyarakat yang semakin kurang dan enggannya generasi
muda untuk mempelajarinya karena dianggap sebagai kuno atau kampungan. Mereka
lebih menyukai jenis-jenis kesenian kontemporer.
2.
pertunjukan
rumpaka tembang cianjuran.
Sebenarnya istilah mamaos hanya
menunjukkan pada lagu-lagu yang berpolakan pupuh (tembang), karena istilah
mamaos merupakan penghalusan dari kata mamaca, yaitu seni membaca buku cerita
wawacan dengan cara dinyanyikan. Buku wawacan yang menggunakan aturan pupuh ini
ada yang dilagukan dengan teknik nyanyian rancag dan teknik beluk. Lagu-lagu
mamaos berlaras pelog (degung), sorog (nyorog; madenda), salendro, serta
mandalungan. Berdasarkan bahan asal dan sifat lagunya mamaos dikelompokkan dalam
beberapa wanda, yaitu: papantunan, jejemplangan, dedegungan, dan rarancagan.
Sekarang ditambahkan pula jenis kakawen dan panambih sebagai wanda tersendiri.
Lagu-lagu mamaos dari jenis tembang banyak menggunakan pola pupuh Kinanti,
Sinom, Asmarandana, dan Dangdanggula, serta ada di antaranya lagu dari pupuh
lainnya.
Lagu-lagu dalam wanda papantunan di
antaranya Papatat, Rajamantri, Mupu Kembang, Randegan, Randegan Kendor, Kaleon,
Manyeuseup, Balagenyat, Putri Layar, Pangapungan, Rajah, Gelang Gading, Candrawulan,
dsb. Sementara dalam wanda jejemplangan di antaranya terdiri dari Jemplang
Panganten, Jemplang, Cidadap, Jemplang Leumpang, Jemplang Titi, Jemplang
Pamirig, dsb. Wanda dedegungan di antaranya Sinom Degung, Asmarandana Degung,
Durma Degung, Dangdanggula Degung, Rumangsang Degung, Panangis Degung dan
sebagainya. Wanda rarancagan di antaranya; Manangis, Bayubud, Sinom Polos,
Kentar Cisaat, Kentar Ajun, Sinom Liwung, Asmarandana Rancag, Setra, Satria,
Kulu-kulu Barat, Udan Mas, Udan Iris, Dangdanggula Pancaniti, Garutan,
Porbalinggo, Erang Barong dan sebagainya. Wanda kakawen di antaranya: Sebrakan
Sapuratina, Sebrakan Pelog, Toya Mijil, Kayu Agung, dan sebagainya. Wanda
panambih di antaranya: Budak Ceurik, Toropongan, Kulu-kulu Gandrung Gunung,
Renggong Gede, Panyileukan,
Selabintana, Soropongan, dsb.
Pada mulanya mamaos berfungsi sebagai
musik hiburan alat silaturahmi di antara kaum menak. Tetapi mamaos sekarang, di
samping masih seperti fungsi semula, juga telah menjadi seni hiburan yang
bersifat profit oleh para senimannya seperti kesenian. Mamaos sekarang sering
dipakai dalam hiburan hajatan perkawinan, khitanan, dan berbagai keperluan
hiburan atau acara adat.
3.
nilai-nilai yang terkandung dalam rumpaka
Tembang Cianjuran
a.
Nasihat dan Doa
Rumpaka dalam istilah Indonesia merupakan teks dari
lagu, atau syair-syair dalam lagu. Dalam rumpaka Tembang Cianjuran
berisi nilai-nilai seperti nasihat dan doa. Nasihat dan doa ini dilihat dari
sudut komunikasi memiliki kemiripan yakniadanya tujuan pengungkapan yang
disampaikan pada pendengar. Nasihat adalah harapansupaya isi pesan rumpaka sampai
kepada pencengar dan doa, harapan yang dipohonkan kepada Tuhan.
Rumpaka digubah oleh seorang penggubah, selanjutnya
ditembangkan oleh sejumlah penembang/ juru mamaos/juru tembang. Dalam
hal ini juru tembang setuju dengan isi rumpaka kemudian ingin
menyampaikannya kembali kepada pendengar, termasuk pula rumpaka yang
berisi doa. Penembang pada umumnya memilih pula isi kandungan dari
rumpaka. Apabila nasihat dilihat dari segi saling menasihati antar-manusia
dan permohonan doa disampaikan kepada Tuhan, keduanya berada dalam wilayah
religius. Nasihat merupakan
Hablum Minanas dan Doa merupakan Hablum Minallah. Amanat yang disampaikan melalui
lantunan tembang terasa lebih hidmat baik dirasakan oleh penembang
maupun didengar oleh penikmat.
Dilihat dari segi historis, unsur nasihat dan doa yang berada dalam wilayah
religius ini memiliki kedudukan penting
pada Rumpaka Tembang Cianjuran. Perintis awal Tembang
Cianjuran adalah Dalem Pancaniti, seorang taat beragama, bahkan ada yang
menganggap ”Alima al-alamah (ulama pandai), mencapai Waliyullah ((Su’eb,
1997: 36). Pernyataan tersebut sejalan
dengan keterangan yang disampaikan oleh Dadan Sukandar bahwa sebelum tahun enampuluhan Tembang Cianjuran mengusung tentang hal keteladanan.
Bukti-bukti itu tersirat pula pada sebuah pada pupuh Sinom Liwung yang diterima oleh R.
Bakang Abubakar dari gurunya pada tahun 1949 sebagai berikut:
Sinom pamekaring rasa
Rasa Suci kang diwincik
racikan ungkara basa
basa pamekaring budi
budi daya nastiti
nutur galuring luluhur
babaran kaelingan
digending dirakit dangding
komaraning daya sastra Kasundaan
(Ischak, 1988: 63)
Sinom pemekar rasa
yang dibahas, Rasa Suci
jalinan bahasa
bahasa pemekar budi
budi yang tangguh karena kehati-hatian
mengikuti jejak leluhur
tentang keimanan
dijadikan tembang digubah dangding
kewibawaan dari kekuatan sasat r
Kasundaan
Diperkirakan rumpaka ini telah ada jauh sebelum tahun 1949. Dalam pupuh
ini ada tanda yang kuat yakni Rasa Suci, Rasa
Suci mengacu kepada Inti Kedirian manusia yang dianugrahkan Tuhan yakni Nurullah atau disebut juga Badan Rohani (Lihat
dalam Wawacan
Jaka Ula Jaka Uli). Kata kedua yakni babaran kaelingan ’pembahasan tentang keimanan’.
Pengertian eling ’iman’ dalam naskah-naskah ajaran Teosofi Tasawuf adalah Manunggaling
kaula-Gusti. Menghadirkan Allah di dalam Badan Rohani’ Pupuh ini berceritera
tentang ajaran keimanan yang menuntun
manusia ke arah kebahagiaan lahir dan batin. Namun
apabila dihubungkan dengan judul lagu yakni Liwung, tidak sesuai.
Dengan demikian
diperkirakan ada lagu pemakai rumpaka ini sesuai isi. Dilihat dari rumpaka
di atas, jelaslah
kekuatan dari kesusastraan Sunda pada suatu masa, dilihat dari segi bobot
isinya (kalsum:2007)
rumpaka-rumpaka
lain Tembang Cianjuran yang diambil dari rumpaka pupuh yang berisi
nasihat serta mengarah pada kebajikan antara lain :
Pucung Degung
Lamun urang boga maksud kudu junun
kahayang jeung prakna
mun sakadar dina hate
eta mubah moal rek aya buktinya.
(Sobirin, 1987: 46)
Apabila bercita-cita sesuatu harus tabah
berkeinginan dengan bekerja
apabila sekadar niat di hati
sia-sia tak akan ada hasilnya
Naratas jalan
Geura bral geura mariang
geura prak naratas jalan
teangan kasugemaan
enggoning keur kumelendang
kumelendang masing yakin
dibarengan kaimanan
yakin kana pamadegan
tangtungan wanda sorangan
tapi poma 2x lain laku kaangkuhan.
Kaangkuhan anu mawa
kana jalan kaambrukan
hirup teh lain sorangan
loba pisan nu marengan
keur urang silih tulungan
lain eukeur pacengkadan
nu taya hartina pisan
nimbulkeun pondok harepan
ilang akal keur ngudag-udagan urang
(Sobirin, 1987: 85)
Silakan berangkatlah
buka jalan
cari kepuasan
selama berkelana
dalam berkelana disertai keyakinan
disertai keimanan
yakin pada pendirian
keyakinan hati nurani
namun janganlah disertai keangkuhan
Keangkuhan membawa
ke jalan kebinasaan
(sadari) hidup tidak sendiri
banyak sekali sesama manusia
untuk saling tolong-menolong
bukan untuk berselisih
yang tak bermanfaat
yang menimbulkan pendek pikiran
kehilangan akal yang akan menyertai kita
Naratas Jalan Surupan Pelog, pupuh Sinom. Kedua bait merupakan
kesatuan yang
mendukung pada judul Naratas Jalan ’Membuka Jalan’. Apabila
dikaitkan dengan
penggunaan pupuh, ”membuka jalan” pada konteks ini, memiliki makna
membuat pijakan
hidup dalam mencari kebahagiaan untuk diteladani oleh orang-orang kemudian.
Teks
Naratas Jalan dipandang dari sudut arti sebagai satu rangkaian informasi, tentang
menjalani
kehidupan.Rumpaka ini mengemukakan bahwa hidup dengan sesama untuk
saling tolong-menolongbukan untuk berselisih. Teks hipogram dalam pupuh
Pucung seperti berikut: Utamana jalmakudu rea batur, keur silih
tulungan, silih asih silih bere, budi akal lantaran ti pada jalma.
’Yang paling utama orang harus memiliki kawan banyak, untuk saling
menolong, saling
memberi, budi dan akal melalui sesama manusia.’(Kalsum:2007).
Rumpaka-rumpaka
diatas merupakan sebagian kecil contoh dari Tembang Cianjuran yang selalu
memiliki intisari kebajiakan, nasihat, doa, dan mengajak manusia untuk mencapai
kemuliaan. Selain diatas ada pula cirebonan ‘bermakna manusia harus
sigap dalam melakukan kebaikan’, ceurik abdi’menceritakan bahwa di dunia
semua hal selalu berpasangan’, sinom bungur’mengingatkan pada manusia
dalam berkehidupan tidak bisa sewenang-wenang serta egois’, pangrawit’
dalam berkehidupan manusia harus tahu mana yang benar dan yang salah serta selalu
menjaga diri’ dan masih banyak rumpaka pupuh lainnya.
Sudah
dapat dipastikan bahwa Tembang Cianjuran sangat mengarah dan mengajarkan
manusia sebagai mahkluk yang bermoral. Membimbing kepada kebaikan, saling
mendoakan antar sesama, menjaga kelestarian alam, dan permohonan kepada sang
pencipta. Hal ini tentunya jarang sekali ditemukan pada teks lagu populer zaman
sekarang. Teks dalam gubahan lagu populer kebanyakan menceritakan mengenai
realita percintaan anak remaja, putus cinta, perselingkuhan, pengorbanan cinta,
pacaran, dan segala sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan remaja zaman
sekarang.
BAB VI
KESIMPULAN DAN
REKOMENDASI
1.
KESIMPULAN
Tembang
Cianjuran telah ada sejak masa pemerintahan pada zaman penjajahan. Kesenian ini
adalah karya orsinil dari masyarakat Indonesia khususnya orang sunda. Tembang
Cianjuran merupakan karya seni yang berkaitan erat dengan pakem karawitan sunda.
Rumpaka atau teks lagu pada Tembang Cianjuran berisi nasihat, do’a, dan
segala sesuatu yang mengajak manusia dalam hidup di dunia selalu berada di
jalan yang lurus yaitu jalan yang di ridhai Tuhan sang pencipta. Namun dewasa
ini Tembang Cianjuran yang dulu sangat fenomenal dikalangan bangsawan sudah
mulai tergerus oleh arus globalisasi dan generasi muda yang semakin kurang
berminat serta peduli untuk melestarikan salah satu kekayaan bangsa Indonesia
ini.
2.
SARAN
Penulisan karya tulis ini tentunya masih banyak kekurangan, untuk itu kritik
dan saran yang diberikan akan sangat berharga bagi penulis untuk menyempurnakan
kajian penulisan karya tulis ini di kemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar